Tuesday, March 17, 2009

PERMAINAN ANAK

Oleh: AsianBrain.com Content Team

"Permainan anak tidak terlepas dengan masa kanak-kanak yang indah dan menggembirakan."
--Filosof Anak--

Apabila kita ditanya tentang masa kanak-kanak, tentu kita akan dengan suka cita menceritakan berbagai pengalaman menyenangkan yang pernah dialami. Semuanya begitu indah dan menggembirakan. Mengapa demikian? Karena masa kanak-kanak adalah masa bermain. Hampir atau bahkan semua aktivitas anak-anak adalah bermain!

Namun masih ada orang tua yang beranggapan bahwa bermain adalah aktivitas membuang-buang waktu. Mereka lebih suka melihat anaknya belajar dengan duduk rapih tanpa keributan, daripada bergerak (moving) dan bersuara (noice).

Bermain cara efektif untuk belajar

Padahal, jika semua orangtua tahu dan menyadari bahwa aktivitas gerak dan suara anak (bisa disebut bemain) adalah cara yang paling efektif untuk anak belajar sesuatu. Sebab, bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi anak.

Lewat permainan, anak akan mengalami rasa bahagia. Dengan perasaan suka cita itulah syaraf/neuron di otak anak dengan cepat saling berkoneksi untuk membentuk satu memori baru. Itulah sebabnya mengapa anak-anak dengan mudah belajar sesuatu melalui permainan.

Perlunya bermain

  • Belajar dari permainan (Learning by playing)
    Permainan seharusnya memiliki nilai seimbang dengan belajar. Anak dapat belajar melalui permainan (learning by playing). Banyak hal yang dapat anak pelajari dengan permainan, keimbangan antara motorik halus dan motorik kasar sangat memengaruhi perkembangan psikologi anak. Seperti kata Reamonn O Donnchadha dalam bukunya The Confident Child "Permainan akan memberi kesempatan untuk belajar menghadapi situasi kehidupan pribadi sekaligus belajar memecahkan masalah".
  • Permainan mengembangkan otak kanan
    Disamping itu tentu saja anak mempunyai kesempatan untuk menguji kemampuan dirinya berhadapan dengan teman sebayanya dan mengembangkan perasaan realistis akan dirinya. Bermain melalui permaianan memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan otak kanan, kemampuan yang mungkin kurang terasah di sekolah maupun di rumah.
  • Permainan mengembangkan pola sosialisasi dan emosi anak
    Dalam permainan kelompok, anak belajar tentang sosialisasi yang menenpatkan dirinya sebagai mahluk sosial. Anak mempelajari nilai keberhasilan pribadi ketika berhasil memasuki suatu kelompok. Ketika anak memainkan peran 'baik' atau 'jahat' membuat anak kaya akan pengalaman emosi, anak akan memahami perasaan yang terkait dari ketakutan dan penolakan dari situasi yang dia hadapi.

Dengan kegiatan bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk mempraktikkan rasa percayanya kepada orang lain dan kemampuan dalam bernegosiasi, memecahkan masalah (problem solving) atau sekedar bergaul dengan orang sekitarnya.

Jenis permainan

Pada dasarnya, semua jenis permainan mempunyai tujuan yang sama yaitu bermain dengan menyenangkan! Yang membedakan adalah pengaruh atau efek dari jenis permainan tersebut. Ada dua jenis permainan, yaitu: Permainan Aktif dan Permainan Pasif. Permainan aktif dan pasif iini hendaknya dilakukan dengan seimbang.

  • Permainan olah raga (sport):
    Bagi orang dewas, olah raga bukan lagi menjadi sebuah permainan tetapi sesuatu yang serius dan kompetitif. Namun bagi anak, olah raga bisa menjadi satu permainan yang menyenangkan yang mengandung kesenangan, hiburan, dan bermain, tetapi tidak juga terlepas dari unsur partisipatif dan keinginan untuk unggul.

    Dalam permainan olah raga anak mengembangkan kemampuan kinestetik dan pengembangan motivasi untuk menunjukkan keungulan dirinya (penekanan bukan pada persaingan tapi pada kemampuan) memberi kekuatan pada dirinya sendiri serta belajar mengembangkan diri setiap waktu.
  • Permainan perkelahian (body contact):
    Jenis permainan ini termasuk permainan modern, tapi banyak orang tua maupun guru memandangnya skeptic dan cemas, ini beralasan dari efek yang mungkin serius. Permainan ini merupakan jenis permainan modifikasi yang menuntut keseriusan anak untuk memenuhi kebutuhan akan kekuasaan.

    Hal tersebut sehat dan positf bagi anak, berguna untuk menguji keunggulan dan kekuatan di lingkungan sekitar. Jenis permainan ini adalah untuk menguji kemampuan dan pemikiran anak dalam dunia nyata dengan segala akibatnya.

Katagori permainan pasif

  • Permainan mekanis
    Seiring perkembangan, jaman dan teknologi memberi pengaruh besar dalam perkembangan jenis permainan untuk anak. Alat teknologi canggih seperti komputer bukan lagi milik orang dewasa, tapi telah menjadi barang biasa buat anak-anak.

    Berbagai games atau permainan virtual telah tersedia di dalamnya (computer). Bermain computer tidak sama dengan bermain bersama teman, anak bermain sendiri dengan kesenangannya.

    Sisi negatif
    Sisi negatif permainan mekanis ini adalah kurangnya pembentukan sikap anak untuk menerima dan memberi (take and give). Anak memegang kendali penuh atas 'teman mainnya' dan 'si teman mainnya' akan melakukan apapun yang diinginkan anak. Kendali penuh ini akan menimbulkan reaksi serius bila anak menyalurkannya dalam pertemanan di lingkungan sosialnya.

    Sisi positif
    Namun, hal positif anak memiliki keterampilan komputer yang akan diperlukan anak sebagai sarana hidupnya.
  • Permainan fantasi
    Fantasi merupakan praktik permainan yang khusus dilakukan sendiri. Anak dapat membentuk dunia sesuai dengan keinginannya (imaginasi).Sebaiknya, orang tua tidak memaksa anak untuk selalu bermain dengan teman-temannya karena akan menciptakan kesan bahwa bermain sendiri itu salah.

    Permainan fantasi selain proses kreatif mengembagkan kemampuan sisi otak kanan, juga untuk pembentukan kecerdasan interpersonal (salah satu dari delapan kecerdasan teori multiple intelligence, Howard Garner)
Tentang Penulis: AsianBrain.com Content Team. Asian Brain adalah pusat pendidikan Internet Marketing PERTAMA & TERBAIK di Indonesia. Didirikan oleh Anne Ahira yang kini menjadi ICON Internet Marketing Indonesia. Kunjungi situsnya dan dapatkan informasi menarik disini.

Monday, March 2, 2009

ALTERNATIF UNTUK ANAK HIPERAKTIF

Gejala hiperaktivitas ternyata terapinya bervariasi, mulai dari penggunaan obat modern hingga terapi yang bersifat tradisional. Obat-obatan dapat menyebabkan kecanduan. Karenanya, terapi alternatif pun dimanfaatkan.

Wawan (4) tidak pernah bisa duduk diam di sanggar. Setiap kali, ia hanya betah duduk selama 5 menit, kemudian beralih ke kegiatan lain, misalnya mencoret-coret dinding dengan krayon. Sejenak asyik, ia pun pindah ke tempat mainan. Tak lebih dari 10 menit, ia pasti sudah pindah ke aktivitas lain lagi. Setiap kali pembimbing berusaha menenangkan dia, misal dengan memeluknya, ia selalu memberontak.

Gangguan pemusatan perhatian disertai gejala hiperaktivitas motorik yang dikenal sebagai Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) atau Attention Deficit Disorder (ADD) ini menjangkiti 3% - 5% anak berusia 4 - 14 tahun. Gejalanya, anak tidak mampu memusatkan perhatian (konsentrasi) pada satu tugas tertentu. Selalu gelisah dan tidak bisa duduk dengan tenang.

Penyebabnya, menurut para ahli, adanya kerusakan kecil pada sistem saraf pusat dan otak sehingga rentang konsentrasi menjadi sangat pendek dan sulit dikendalikan. Anak hiperaktif bergerak ke sana kemari tak terarah, tak sesuai dengan situasi yang dihadapi. Mereka pun kerap gagal menyelesaikan tugas.

Beberapa faktor diduga dapat menyebabkan gangguan ini. Antara lain, temperamen bawaan, pengaruh lingkungan, malfungsi otak, epilepsi. Juga kondisi gangguan di kepala, seperti gegar otak, trauma kepala karena persalinan sulit atau kepala pernah terbentur, infeksi, keracunan, gizi buruk, dan alergi makanan. Gangguan ini tak kentara karena anak tidak mengeluh sakit, walau sebetulnya telah terjadi gangguan pada susunan saraf pusat.

Jangan buru-buru memvonis

Sayangnya, orang tua sering salah menduga, anaknya umur dua tahun yang memang lagi senang-senangnya bergerak dan sulit duduk diam, divonisnya "hiperaktif". Padahal ciri-ciri hiperaktif baru terdeteksi setelah anak setidaknya berusia empat tahun atau usia awal sekolah.

Apa yang dilakukan tidak satu pun diselesaikan. Anak cepat sekali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Kadang perkembangan motorik dan bahasanya juga terlambat. Ia mudah terangsang, perhatiannya gampang teralihkan, tak tahan frustrasi, dan kurang dapat mengontrol diri. Yang terakhir ini lantaran mudahnya ia terangsang, di samping memang impulsif. Tuntutannya harus segera dipenuhi. Suasana hatinya amat labil. Beberapa menit terlihat gembira, mendadak marah-marah dan ngambek.

Ciri lainnya, ia tak mampu mengontrol gerakan. Duduk tak tenang, bergoyang-goyang, atau merosot hingga terjatuh dari tempat duduk. Sepertinya ia tak kenal lelah, seakan energinya digerakkan oleh mesin. Kalau anak lain diam karena capek sehabis berlarian, ia paling cuma minum lalu bergerak lagi. Mulutnya tak pernah diam, terus saja berkicau. Ia tak sabar menunggu giliran, sehingga senang menyerobot, dan bicaranya terburu-buru. Daya konsentrasinya rendah dan seolah-olah tak mau mendengarkan perkataan orang tua. Malahan matanya seperti tak memperhatikan lawan bicaranya.

Kalaupun ciri-ciri di atas ada pada anak, sebaiknya jangan dulu buru-buru memvonis dia hiperaktif. Amati perkembangannya dan bandingkan dengan anak sebayanya. Andaikata sampai enam bulan ia masih menunjukkan tanda-tanda itu, baru berkonsultasi dengan psikolog anak. Jangan didiamkan karena bisa berlanjut hingga dewasa. Bisa-bisa nantinya ia menemukan masalah dalam pekerjaan, gara-gara cepat bosan, jenuh, pencemas, tidak pernah menyelesaikan tugas, dan antisosial.

Obat bukan satu-satunya

Penanggulangan kasus gangguan pemusatan perhatian pada anak memang berbeda-beda. Tergantung berat-ringannya. Yang ringan dapat ditangani melalui bimbingan dan penyuluhan kepada orang tua dan pendidikan khusus untuk memperbaiki perilaku anak. Terapi psikologis dibutuhkan juga untuk mengatasi stres dan berbagai konfliknya, yang biasanya berkaitan dengan hubungan sosial.

Namun bila cukup parah, pemberian obat diperlukan juga agar anak mampu berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas dengan baik. Meski para ahli umumnya tak menyarankan obat-obatan sebagai terapi tunggal. Obat stimulan saraf yang umumnya diberikan pada anak hiperaktif, antara lain metilfenidat, dekstro-amfetamin, dan pemolin-magnesium. Hasilnya, anak pun bisa tenang dan berkonsentrasi selama beberapa jam.

Sayang, walaupun efektif, obat memiliki efek sampingan yang merugikan. Timbul kantuk, nafsu makan berkurang, atau sebaliknya sulit tidur, tic (semacam kedutan), nyeri perut, sakit kepala, cemas, perasaan tidak nyaman, serta kreativitasnya terhambat. Dalam jangka panjang semua ini bisa memberikan efek negatif terhadap sistem saraf, yakni menyebabkan kecanduan/ketergantungan obat, bahkan sampai ia dewasa.

Perkembangan jiwa anak pun ikut mempengaruhi munculnya perilaku adiktif. Kecenderungan adiksi ini bisa dikenali pada enam tahun pertama. Kita bisa mengamati anak-anak balita kita lewat sikap, karakter, dan tingkah lakunya, terutama yang menunjukkan gejala hiperaktivitas. Termasuk, tidak ada salahnya mewaspadai ancaman narkoba sejak anak balita.

Untuk menghindari efek negatif obat, pelbagai terapi lain bisa dijadikan alternatif. Keefektifan masing-masing terapi berbeda-beda.

Diet modifikasi

Diet ini didasari oleh penelitian Ben Feingold, seorang ahli alergi, pada 1960. Lima puluh persen anak dengan ADHD yang ditanganinya "membaik" setelah menjalani diet tanpa makanan pencetus alergi. Yaitu makanan yang mengandung salisilat alami, seperti jeruk, apel, aprikot, beri, anggur. Juga makanan yang mengandung zat tambahan buatan, seperti pengawet, pemanis, pewarna, penyedap (MSG, monosodium glutamat). Jelas, diet ini mengharuskan perubahan pola makan anak dan keluarga. Jadi, perlu perhatian khusus dari ibu dalam memasak dan menyajikan makanan.

Setelah menjalankan diet ketat beberapa lama, makanan yang dicurigai sebagai pencetus alergi dapat diberikan kembali satu per satu ke dalam menu. Jika muncul perubahan tingkah laku pada anak, misal menjadi hiperaktif kembali, makanan itu jangan lagi diberikan.

Menurut Gerard Olarsch, ND, hiperaktivitas dapat juga gara-gara kekurangan mineral tertentu. Gejalanya, anak punya keinginan berlebihan untuk makan makanan manis atau asin. Zat mineral yang diduga berhubungan dengan ADHD, antara lain DMG (dimetilglisin), enzim, asam lemak, zat besi, magnesium, dan seng. Makanya, pemberian suplemen vitamin dan mineral akan sangat membantu kemajuan si anak.

Olahraga menyedot energi

Anak hiperaktif menyimpan energi berlebihan. Untuk lebih menyalurkan energinya, ajaklah dia berolahraga atau bertamasya ke alam terbuka, semisal kebun binatang, taman bermain. Di sana ia bisa bebas bermain, memanjat, dan berlari sesuka hati. Intinya, lakukan aktivitas yang menyenangkan dirinya. Hati-hati mengajaknya ke pusat perbelanjaan, karena begitu dibiarkan sendirian, ia akan pergi ke mana pun dia suka.

Jika bermain di rumah, ajaklah ia melakukan permainan yang membutuhkan konsentrasi, seperti menyusun puzzle, berkebun, atau memelihara binatang. Libatkan anak dalam banyak kegiatan sepulang sekolah, misal belajar musik, berenang, tenis, karate, dll. Tentu saja tanpa melupakan bakat dan kemampuan fisiknya.

Warna mendinginkan otak

Sekadar sebagai pendamping, terapi ini menyarankan agar anak hiperaktif dipaparkan pada warna-warna "mendinginkan" atau agak gelap. Efeknya akan menenangkan otaknya.

Warna-warna itu bisa ditempatkan di kamar, berupa warna dinding, pintu, perabot, baju, lampu, dsb. Warnanya bisa hijau, biru muda, ungu, atau biru tua. Hindari warna terang dan "panas", semisal merah, kuning, oranye karena justru merangsang otaknya untuk beraktivitas.

Biofeedback relatif masih baru.

Meski biofeedback dikenal sejak 25 tahun silam, penerapannya pada anak hiperaktif relatif baru. Dasarnya, anak ADHD menghasilkan gelombang teta berlebihan tapi tidak cukup menghasilkan gelombang beta. Gelombang teta berkaitan dengan melamun atau mimpi di tengah hari, sementara gelombang beta berhubungan dengan konsentrasi. Biofeedback membuat anak mengurangi produksi gelombang teta dan menghasilkan banyak gelombang beta, sehingga kemampuan fokus dan konsentrasinya meningkat. Menurut penelitian Steven W. Lee dari Universitas Kansas, biofeedback dapat mengurangi gejala yang berhubungan dengan hiperaktivitas.

Lewat layar video yang menampilkan beragam tantangan, seperti video game, biofeedback menarik bagi anak. Ada warna terang, musik yang memberi umpan balik langsung. Ada pula hadiah yang akan diberikan jika anak bisa menyelesaikannya dengan baik.

Pada salah satu versi terapi, selama anak memproduksi gelombang beta, warna terang bertambah pada roda disertai dengan musik yang meningkat nadanya. Versi lainnya, pada layar video anak harus mempertahankan kapal terbang agar tidak melewati garis-garis tertentu (ketika memproduksi gelombang beta), agar lampu merah tetap tidak menyala. Untuk terapi ini, umumnya anak akan menjalani 30 - 50 pertemuan, per satu atau dua minggu sekali. Setiap pertemuan berlangsung satu jam.

Obat dibuat khusus

Homeopati lain lagi cara kerjanya. Terapi yang berkembang sejak abad ke-18 ini merupakan sistem pengobatan untuk menyeimbangkan fisik, mental, juga emosi. Praktisi homeopati memberikan obat khusus untuk masing-masing orang dengan gejala berbeda-beda. Obatnya berupa campuran bahan dari hewan, tumbuhan, dan mineral berbentuk larutan pekat. Jadi, satu obat tidak sama untuk setiap orang, walaupun diagnosisnya sama. Karena diracik khusus untuk tiap pasien, menurut dokter naturopati Judyth Reichenberg-Ullman, ND, MSW, dan Robert Ullman, ND, obat untuk gejala ADD/ADHD juga dapat menyembuhkan gejala lain, seperti infeksi telinga dan sakit kepala.

Pulihkan energi yang "dicuri"

Pengobatan tradisional Cina merupakan yang tertua di dunia dan masih bertahan sampai sekarang. Prinsipnya berdasarkan harmonisasi tubuh dengan alam dan aliran dari energi vital (qi/chi) ke seluruh tubuh.

Ada dua hal penyebab ADD, yaitu faktor genetik dan gangguan fungsi hati. Bila diakibatkan gangguan fungsi hati, organ hatinya secara fisik baik, hanya hubungan "energi"-nya dengan organ tubuh lain yang tidak seimbang. Karena energi organ hati sangat kuat, ia "mencuri" tambahan energi dari paru-paru dan ginjal. Kedua organ itu menjadi terlalu lemah untuk membuat kerja hati tetap terkontrol.

Gaya hidup masa kini dengan kadar stres tinggi membuat ADHD sulit dikontrol. Diet anak perlu diperhatikan, khususnya dari titik pusat energi. Beberapa makanan dapat membawa energi yang memicu kerja hati sehingga menjauhi keseimbangan.

Hindari makanan junkfood, bukan semata-mata alasan kesehatan, tetapi karena makanan itu meningkatkan "panas" dalam organ hati. Goreng-gorengan, bumbu, dan makanan panggang juga memberikan efek serupa. Karena itu, anak harus banyak makan sayuran hijau, karena dapat membantu mendinginkan/menurunkan "panas" dalam hati. Juga minum sari buah (jus) semangka dan, sebisa mungkin, hindari makan daging.

Menghindari situasi/kejadian yang merangsang anak, juga akan membantu. Medan listrik yang dibangkitkan dari permainan di komputer, tidak baik bagi anak ADHD.

Ajaklah anak beraktivitas menenangkan, seperti berenang, tai chi, yoga, dan meditasi. Akupunktur, akupresur, dan jamu-jamuan bisa memberi efek melegakan. Jika anak diberi obat, perhatikan bagian perut (lambung). Banyak anak ADHD kehilangan nafsu makan atau berat badan meningkat di kemudian hari, akibat fungsi energi lambung tidak seimbang.

Perbaiki jalur pendengaran

Kebanyakan anak ADHD juga memiliki masalah pendengaran. Bisa mendengar, tetapi kesulitan mengerti apa yang didengarnya. Karena telinga dan otak tidak bekerja efisien dalam memproses suara. Ada kesulitan memilih suara dari banyak sumber suara yang ada. Juga kesulitan memusatkan pendengaran pada suara tertentu. Misal, seharusnya mendengar suara gurunya, ia malahan tertarik dengan bunyi klakson mobil di luar ruangan kelas. Akibatnya, ia sulit berkonsentrasi pada suatu hal beberapa saat. Anak menjadi terganggu oleh semua bunyi di sekitarnya.

Terapi suara memulihkan kapasitas pendengaran/penerimaan suara, sehingga anak dapat belajar terfokus dan menangkap suara yang diinginkan langsung ke pusat bahasa di otak.

Masalah persepsi suara disebabkan oleh "penutupan" pendengaran untuk beberapa frekuensi suara. Otot telinga menjadi "malas" dan tidak tanggap. Karena itu, perlu distimulasi dan dilatih agar mencapai kapasitas normal untuk memperbaiki pendengaran dan mengorganisasikan transmisi pendengaran dalam otak. Proses ini akan mengurangi stres dan ketegangan saraf. Anak akan dapat mengikuti mana suara yang diinginkan.

Pada terapi suara, anak harus mendengarkan kaset khusus (musik) setiap hari selama 30 - 60 menit. Jika anak sulit untuk duduk diam, kaset dapat diperdengarkan ketika anak tidur. Hasil efektif umumnya terlihat setelah 100 jam pascaterapi. Aktivitas fisiknya akan tampak menurun sementara daya konsentrasinya meningkat.

(Femi Olivia/pengamat masalah anak).

tIPS UNTUK ORANG TUA

  • Ajarkan disiplin pada anak hiperaktif, agar ia dapat mengatur dirinya dengan baik.
  • Jangan menghukumnya. Perilaku hiperaktif bukan kesalahannya.
  • Jangan sekali-kali melabel anak hiperaktif sebagai anak nakal, malas atau bodoh. Karena akhirnya ia akan bersikap seperti yang dilabelkan padanya.
  • Keefektifan terapi berbeda-beda bagi tiap anak. Orang tua harus menentukan terapi yang terbaik bagi anak.
  • Yang terpenting, berikan kasih sayang (bukan memanjakan) pada anak ADHD melebihi saudara lainnya. Sebab, seberapa banyak kasih sayang yang ditumpahkan kepada anak ADHD tidak akan pernah bisa penuh.

MENGENAL ANAK HIPERAKTIF DI SEKOLAH

Mendidik anak untuk bisa pintar mungkin terlalu mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tetapi mendidik anak untuk mempunyai emosi yang stabil, tidak semua orang bisa melakukannya. Dibutuhkan orang tua dan guru yang sabar, serius, ulet, serta mempunyai semangat dedikasi tinggi dalam memahami dinamika kepribadian anak.

Perilaku siswa usia sekolah saat ini banyak dikeluhkan guru. Para guru mengeluh sikap anak-anak yang sangat sulit di atur emosinya di kelas selama pelajaran berlangsung. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana melatih dan mengajarkan siswa saya untuk konsentrasi, tekun, dan tenang selama pelajaran saya berlangsung. Saya bingung, teguran dan sangsi apa lagi yang harus saya berikan agar siswa saya bisa duduk dengan tenang selama pelajaran berlangsung sehingga dapat dengan mudah memahami materi yang saya ajarkan. Itulah dua dari sekian banyak contoh keluhan para guru menghadapi siswa hiperaktif di kelas selama pelajaran berlangsung di sekolah.

Dalam Psikologi terdapat apa yang namanya anak penderita Attention deficit Hiperactivity Disorder (ADHD). ADHD didefinisikan sebagai anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian, tidak dapat menerima impuls-impuls dengan baik, suka melakukan gerakan-gerakan yang tidak terkontrol, dan menjadi lebih hiperaktif. Adapun kriteria anak hiperaktif pada masa sekolah adalah sebagai berikut:

  1. Mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (defisit dalam memusatkan perhatian) sehingga anak tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya secara baik.
  2. Jika diajak bicara siswa hiperaktif tidak dapat memperhatikan lawan bicaranya (bersikap apatis terhadap lawan bicaranya).
  3. Mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar dirinya..
  4. Tidak dapat duduk tenang walaupun dalam batas waktu lima menit dan suka bergerak serta selalu tampak gelisah.
  5. Sering mengucapkan kata-kata secara spontan (tidak sadar).
  6. Sering melontarkan pertanyaan yang tidak bermakna kepada guru selama pelajaran berlangsung.
  7. Mengalami kesulitan dalam bermain bersama temannya karena ia tidak memiliki perhatian yang baik

Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang diajarkan guru kepadanya. Selain itu juga, prestasi belajar anak hiperaktif juga tidak bisa maksimal.
Secara psikologis, perkembangan kognisi anak-anak yang menderita hiperaktif biasanya termasuk dalam kategori normal. Jika prestasi akademik mereka rendah, sebenarnya bukan karena perkembangan kognisinya yang bermasalah, tetapi lebih disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk konsentrasi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk mengatasi masalah hiperaktif pada siswa di sekolah adalah orang tua harus berupaya menghilangkan perilaku hiperaktif anak sebelum masuk sekolah. Cara yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah sedini mungkin membiasakan seorang anak untuk hidup dalam suatu aturan. Jadi anak harus dikendalikan emosinya dengan penerapan aturan yang konsisten di rumah oleh orang tua. Selain itu, anak juga harus sedini mungkin diberikan kepercayaan dan tanggung jawab terhadap apa yang seharusnya dia lakukan. Di bawah ini ada beberapa ciri khusus yang dapat orang tua deteksi perilaku hiperaktif anak pada setiap fase perkembangannya.
1. Akhir tahun pertama sebelum masuk sekolah (pada saat Balita) perilaku Attention deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) yang ada pada anak belum bisa terdeteksi secara nyata, tetapi bila mereka menunjukkan tingkah laku gelisah dalam melakukan suatu aktifitas tertentu maka orang tua sebenarnya harus bisa memberikan perhatian serius.
2. Pada masa pra sekolah, gejala ADHD-nya mulai nampak. Misalnya tidak mampu mengerjakan suatu tugas yang ringan, tidak mampu bergaul dengan teman atau cuek terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Pada masa sekolah jika tidak mendapatkan perhatian serius maka defisiensi yang di derita anak akan bertambah sehingga kondisinya bisa lebih parah dari masa sebelumnya. Langkah terbaik untuk masa ini adalah anak perlu diperhatikan kondisi emosinya seawal mungkin oleh orang tua sebelum masuk sekolah.
4. Jika pada tiga fase sebelumnya tidak diperhatikan secara serius, maka pada masa remaja awal (SLTP) anak yang menderita ADHD tidak dapat berhasil dalam belajar. Kondisi ini yang menyebabkan seorang remaja tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi nantinya.Alasan yang sangat nyata adalah karena prestasi belajar anak hiperaktif yang sangat rendah. Kondisi ini lebihdisebabkan karena anak hiperaktif mengalmi deficit dalam perhatian.
5. Pada masa dewasa seorang yang masih menderita ADHD mengalami masalah dalam hubungan interpersonal seperti, kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain (minder) tidak percaya diri, tidak mempunyai konsep diri yang jelas, selalu tampak depresi atau stress, memiliki perilaku anti sosial, dan selalu merasa tidak mantap dengan tugasnya atau pekerjaannya. Jadi ADHD yang tidak teratasi akan terbawa sampai masa dewasa.

Kerja nyata dari orang tua dalam membentuk emosi anak adalah sedini mungkin mencoba membimbing anak dalam berbagai aktivitas hidupnya. Belajar menenangkan anak untuk bisa memusatkan perhatiannya sedini mungkin menjadi penting, karena akan berpengaruh secara tidak langsung pada perkembangan prestasi anak di sekolah. Keterampilan khusus yang dimiliki orang tua dalam mengatur emosi anak sejak dini itu akan mematangkan emosinya pada waktu sekolah nantinya. Keterampilan-keterampilan yang diajarkan oleh orang tua pada waktu kecil juga akan memungkinkan seorang anak bisa bersikap penuh perhatian terhadap isyarat-isyarat sosial pada perkembangan kepribadiannya. Dengan kata lain, keseriusan orang tua dalam mendeteksi dan menanggapi secara baik setiap emosi yang dimunculkan anak pada masa kecil, akan membantu anak pada proses perkembangan kepribadian anak selanjutnya.

Siktus Tanje, S.Psi : Konselor di SLTP St. Kristoforus II
Taman Palem Lestari, Blok A.No. 18
Cengkareng, Jakarta Barat
Telephon: 559.545.49


DETEKSI DINI DAN SKRENING AUTIS

Oleh:
Dr Widodo Judarwanto SpA
telp : (021) 70081995 - 4264126 - 31922005
email : wido25@hotmail.com
htpp://www.alergianak.bravehost.com




ABSTRAK

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.

Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat dalam dekade terakhir ini. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah penderita autis semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.

Penderita autis yang memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik. Deteksi dini sangat penting dan berpengaruh terhadap prognosis penderita. Upaya deteksi dini yang optimal diperlukan kerjasama peranan orang dan dokter baik dokter umum atau dokter anak dalam melakukan skrening terhadap penderita yang dicurigai autis.



PENDAHULUAN

Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penderita autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).

Pemakaian istilah autis kepada penderita diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penderita yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.

Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakanjumlah anak autis dapat mencapai 150 --200 ribu orang.Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.


PENYEBAB AUTIS

Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin.

Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism.
Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin

Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.

Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penderita autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..

Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.

Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autisme terjadi sebelum kelahiran bayi.

Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.

MANIFESTASI KLINIS AUTIS

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.

Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan, reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.

Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata.
Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.



DIAGNOSIS AUTISM

Menegakkan diagnosis autism memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism para klinisi sering menggunakan pedoman DSM IV.Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV.

DiagnosIs yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autism yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.

Karena karakteristik dari penyandang autis ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autis.

Dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan dan wawasan mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.

Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.

Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autis dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.


DETEKSI DINI

Meskipun sulit namun tanda dan gejala autism sebenarnya sudah bisa diamati sejak dini bahkan sejak sebelum usia 6 bulan.

1. DETEKSI DINI SEJAK DALAM KANDUNGAN

Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk penelitian.

2. DETEKSI DINI SEJAK LAHIR HINGGA USIA 5 TAHUN

Autisma agak sulit di diagnosis pada usia bayi. Tetapi amatlah penting untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang lebih cepat akan memberikan hasil yang lebih baik. Beberapa pakar kesehatanpun meyakini bahwa merupahan hal yang utama bahwa semakin besar kemungkinan kemajuan dan perbaikan apabila kelainan pada anak ditemukan pada usia yang semakin muda

Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut usia :


USIA 0 - 6 BULAN

1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)

2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi

4. Tidak "babbling"

5. Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu

6. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan

7. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal



USIA 6 - 12 BULAN

1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)

2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik

3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan

4. Sulit bila digendong

5. Tidak "babbling"

6. Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan

7. Tidak ditemukan senyum sosial

8. Tidak ada kontak mata

9. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal



USIA 6 - 12 BULAN

1. Kaku bila digendong

2. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)

3. Tidak mengeluarkan kata

4. Tidak tertarik pada boneka

5. Memperhatikan tangannya sendiri

6. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus

7. Mungkin tidak dapat menerima makanan cair



USIA 2 - 3 TAHUN

1. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain

2. Melihat orang sebagai "benda"

3. Kontak mata terbatas

4. Tertarik pada benda tertentu

5. Kaku bila digendong



USIA 4 - 5 TAHUN

1. Sering didapatkan ekolalia (membeo)

2. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)

3. Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah

4. Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)

5. Temperamen tantrum atau agresif



DETEKSI DINI DENGAN SKRENING

Beberapa ahli perkembangan anak menggunakan klarifikasi yang disebut sebagai Zero to three's Diagnostic Classification of Mental Health and Development Disorders of Infacy and early Childhood. DC-0-3 menggunakan konsep bahwa proses diagnosis adalah proses berkelanjutan dan terus menerus, sehingga dokter yang merawat dalam pertambahan usia dapat mendalami tanda, gejala dan diagnosis pada anak. Diagnosis tidak dapat ditegakkan secara cepat, tapi harus melalui pengamatan yang cermat dan berulang-ulang. Dalam penegakkan diagnosis harus berkerjasama dengan orangtua dengan mengamati perkembangan hubungan anak dengan orangtua dan lingkungannya.

Konsep DC 0-3 tersebut digunakan karena pengalaman kesulitan dalam mendiagnosis Autis atau gangguan perilaku sejenisnya di bawah 3 tahun, khususnya yang mempunyai gejala yang belum jelas. Faktor inilah yang menyulitkan apabila anak didiagnosis autism terlalu dini, padahal dalam perkembangannya mungkin saja gangguan perkembanagn tersebut ada kecenderungan membaik atau menghilang. Sehingga kalau anaknya didiagnosis Autism adalah sesuatu yang berat bagi orang tua, seolah-olah sudah tidak harapan bagi si anak.


MSDD (Multisystem Developmental Disorders)

MSDD (Multisystem Developmental Disorders) adalah diagnosis gangguan perkembangan dalam hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain dan belajar. Gangguan MSDD tidak menetap seperti gangguan pada Autistis Spectrum Disorders, tetapi sangat mungkin untuk terjadi perubahan dan perbaikkan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi sensori motor. Gejala MSDD meliputi : gangguan dalam berhubungan sosial dan emosional dengan orang tua atau pengasuh, gangguan dalam mempertahankan dan mengembangkan komunikai, gangguan dalam proses auditory dan gangguan dalam proses berbagai sensori lain atau koordinasi motorik


Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST - II

PDDST-II adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B. dari Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat sejak tahun 1997. Perangkat ini banyak digunakan di berbagai pusat terapi gangguan perliaku di dunia. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang cukup baik sebagai alat bantu diagnosis atau skrening Autis.

Skrening dilakukan pada umur 12-18 bulan

1. Apakah bayi anda sering terlihat bosan atau tidak berminat terhadap pembicaraan atau suatu aktivitas di sekitarnya?

2. Apakah anak anda sering mengerjakan suatu pekerjaan atau bermain dengan suatu benda, yang dilakukannya berulang-ulang dalam waktu yang lama, sehingga anda merasa heran mengapa anak seumurnya dapat berkonsentrasi sangat baik?

3. Apakah anda memperhatikan bahwa anak anda dapat sangat awas terhadap suara tertentu misalnya iklan di TV, tetapi seperti tidak mendengar suara lain yang sama kerasnya, bahkan tidak menoleh bila dipanggil?

4. Apakah anda merasa bahwa perkembangan anak (selain perkembangan kemampuan berbicara) agak lambat (misalnya terlambat berjalan)?

5. Apakah anak anda hanya bermain dengan satu atau dua mainan yang disukainya saja hampir sepanjang waktunya, atau tidak berminat terhadap mainan?

6. Apakah anak anda sangat menyukai maraba suatu benda secara aneh, misalnya meraba-raba berbagai tekstur seperti karpet atau sutera?

7. Apakah ada seseorang yang menyatakan kekuatiran bahwa anak anda mungkin mengalami gangguan pendengaran?

8. Apakah anak anda senang memperhatikan dan bermain dengan jari-jarinya?

9. Apakah anak anda belum dapat atau tidak dapat menyatakan keinginannya, baik dengan menggunakan kata-kata atau dengan menunjuk menggunakan jarinya?



Skrening pada umur 18-24 bulan

1. Apakah anak anda tampaknya tidak berminat untuk belajar bicara?

2. Apakah anak anda seperti tidak mempunyai rasa takut terhadap benda atau binatang yang berbahaya?

3. Bila anda mencoba menarik perhatiannya, apakah kadang-kadang anda merasa bahwa ia menghindari menatap mata anda?

4. Apakah anak anda suka digelitik dan berlari bersama, tetapi tidak menyukai bermain "ciluk-ba"

5. Apakah ia pernah mengalami saat-saat ia menjadi kurang berminat terhadap mainan?

6. Apakah ia menghindari atau tidak menyukai boneka atau mainan berbulu?

7. Apakah ia tidak suka bermain dengan boneka atau mainan berbulu?

8. Apakah ia terpesona pada sesuatu yang bergerak, misalnya membuka-buka halaman buku, menuang pasir, memutar roda mobil-mobilan atau memperhatikan gerakan air?

9. Apakah anda merasa bahwa kadang-kadang anak anda tidak peduli apakah anda berada atau tidak ada di sekitarnya?

10. Apakah kadang-kadang suasana hatinya berubah tiba-tiba tanpa alasan yang jelas?

11. Apakah ia mengalami kesulitan untuk bermain dengan mainan baru, walaupun setelah terbiasa ia dapat bermain dengan mainan tersebut?

12. Apakah ia pernah berhenti menggunakan mimik yang sudah pernah dikuasainya, seperti melambaikan tangan untuk menyatakan da-dah, mencium pipi, atau menggoyangkan kepala untuk menyatakan tidak?

13. Apakah anak anda sering melambaikan tangan ke atas dan ke bawah di samping atau di depan tubuhnya seperti melambai-lambai bila merasa senang?

14. Apakah anak anda menangis bila anda pergi, tetapi seperti tidak peduli saat anda datang kembali?



Penafsiran :

Bila ada 3 atau lebih jawaban "Ya" untuk nomor ganjil di antara semua pertanyaan tersebut, anak harus diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ia mengalami autisme.

Bila ada 3 atau lebih jawaban "Ya" untuk nomor genap di antara semua pertanyaan tersebut, anak harus diperiksa apakah ia mengalami gangguan perkembangan selain autisme.


DETEKSI AUTISM DENGAN CHAT (Checklist Autism in Toddlers, di atas usia 18 bulan).

Terdapat beberapa perangkat diagnosis untuk skreening (uji tapis) pada penderita autism sejak usia 18 bulan sering dipakai di adalah CHAT (Checklist Autism in Toddlers). CHAT dikembangkan di Inggris dan telah digunakan untuk penjaringan lebih dari 16.000 balita.
Pertanyaan berjumlah 14 buah meliputi aspek-aspek : imitation, pretend play, and joint attention. Menurut American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)

BAGIAN A.
Alo - anamnesis (keterangan yang ditanyakan dokter dan diberikan oleh orang tua atau orang lain yang biasa mengasuhnya)

1. Senang diayun-ayun atau diguncang guncang naik-turun (bounced) di lutut ?

2. Tertarik (memperhatilan) anak lain ?

3. Suka memanjat benda-benda, seperti mamanjat tangga ?

4. Bisa bermain cilukba, petak umpet ?

5. Pernah bermain seolah-olah membuat secangkir teh menggunakan mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain ?

6. Pernah menunjuk atau menerima sesuatu dengan menunjukkan jari ?

7. Pernah menggunakan jari untuk menunjuk ke sesuatu agar anda melihat ke sana ?

8. Dapat bermain dengan mainan yang kecil (mobil mainan atau balok-balok) ?

9. Pernah memberikan suatu benda untuk menunjukkan sesuatu ?



BAGIAN B. Pengamatan

1. Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata dengan) pemeriksa ?

2. Usahakan menarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk sesuatu di ruangan pemeriksaan sambil mengatakan : "Lihat, itu. Ada bola (atau mainan lain)" Perhatikan mata anak, apakah anak melihat ke benda yang ditunjuk. Bukan melihat tangan pemeriksa

3. Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan gelas / cangkir dan teko. Katakan pada anak anda : "Apakah kamu bisa membuatkan secangkir susu untuk mama ?" Diharapkan anak seolah-olah membuat minuman, mengaduk, menuang, meminum. Atau anak mampu bermain seolah-olah menghidangkan makanan, minuman, bercocok tanam, menyapu, mengepel dll.

4. Tanyakan pada anak : " Coba tunjukkan mana 'anu' (nama benda yang dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak menunjukkan dengan jarinya ? Atau sambil menatap wajah anda ketika menunjuk ke suatu benda ?

5. Dapatkah anak anda menyusun kubus / balok menjadi suatu menara ?



Interpretasi

1. Risiko tinggi menderita autis : bila tidak bisa melakukan A5, A7, B2, B3, dan B4

2. Risiko kecil menderita autis : tidak bisa melakukan A7 dan B4

3. Kemungkinan gangguan perkembangan lain : tidak bisa melakukan >3

4. Dalam batas normal : tidak bisa melakukan <3>



Keterangan :
Pertanyaan A5, 7 dan B2, 3, 4 paling penting. Anak yang tidak bisa melakukan hal-hal tersebut ketika di uji 2 kali (jarak 1 bulan) semua kemudian terdiagnosis sebagai autis ketika berumur 20 - 42 bulan. Tetapi anak dengan keterlambatan perkembangan yang menyeluruh juga tidak bisa melakukannya. Oleh karena itu perlu menyingkirkan kemungkinan retardasi mental


PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN

Penegakan diagnosis Autis adalah melalui diagnosis klinis atau hanya bersarkan pengamatan langsung dan tidak langsung (melalui wawancara orang tua atau anamnesa). Sehingga dalam penegakkan diagnosis autis sebenarnya tidak harus menggunakan pemeriksaan laboratorium yang sangat banyakl dan sanngat mahal. Tidak ada satupun pemeriksaan medis yang dapat memastikan suatu diagnosis Autism pada anak. Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis yang dapat digunakan sebagai dasar intervensi dan strategi pengobatan. Sehingga pemeriksaan penunjang laboratorium hanyal untuk kepentiangan strategi penatalaksanaan semata dan bukan sebagai alat diagnosis

Bila terdapat gangguan pendengaran harus dilakukan beberapa pemeriksaan Audio gram and Typanogram. EEG untuk memeriksa gelombang otak yang mennujukkan gangguan kejang, diindikasikan pada kelainan tumor dan gangguan otak.. Pemeriksaan lain adalah skrening gangguan metabolik, yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine untuk melihat metabolisme makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum autism dapat disembuhkan dengan diet khusus.

MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CAT Scans (Computer Assited Axial Tomography): sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena dapat melihat struktur otak secara lebih detail. Pemeriksaan genetic dengan melalui pemeriksaan darah adalah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penderita autism telah dapat ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.

OBSERVASI SECARA LANGSUNG

Untuk dapat melakukan penilaian yang cermat tentang penyimpangan perilaku pada anak sangat penting dilakukan observasi secara langsung. Observasi secara langsung ini meliputi interaksi langsung, penilaian fungsional dan penilaian dasar bermain.

Observasi langsung yangs erring dilakukan adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan anak dan diikuti dengan wawancara terhadap orangtua dan keluarga. Informasi tentang emosi anak, sosial, komunikasi, kemampuan kognitif dapat dilakukan secara bersamaan melalui interaksi langsung, observasi dalam berbagai situasi, dan wawancara atau anamnesa dengan orangtua dan pengasuhnya. Orang tua dan anggota lainnya harus ikut aktif dalam penilaian tersebut. .

Observasi langsung lainnya adalah dengan melakukan penilaian fungsional. Tujuan penilaian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bisa terjadi perubahan perilaku seperti perilaku gerakan yang aneh, perilaku bicara yang khas dan sebagainya. Berdasarkan pertimbangan itu bahwa perubahan perilaku adalah suatu cara untuk berkomunikasi dengan lingkungan. Penilaian fungsional termasuk wawancara, observasi langsung dan interaksi secara langsung untuk mengetahui apakah anak menderita autism atau dikaitkan ketidakmampuan dalam komunikasi melalui perilaku anak.Penilaian secara fungsional ini akan membantu dalam perencanaan intervensi atau terapi okupasi yang harus diberikan.

Penilaian dasar bermain juga merupakan observasi langsung yang penting untuk dilakukan. Penilaian ini melibatkan orang tua, guru, pengasuh atau anggota keluarga lainnya untuk mengamati situasi permainan yang dapat memberikan informasi hubungan sosial, eomosional, kognitif dan perkembangan komunikasi. Dengan mengetahui kebiasaan belajar anak dan pola interaksi melalui penilaian permainan, pengobatan secara individual dapat direncanakan.

PERANAN ORANG TUA DAN DOKTER DALAM DETEKSI DINI

Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu. Diantara jenis perkembangan, yang paling penting untuk menentukan kemampuan intelegensi di kemudian hari adalah perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor, serta perkembangan berbahasa. Kemudian keduanya berkembang menjadi perkembangan sosial yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan. Walaupun kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, kita harus waspada apabila seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan atau penyimpangan perkembangan. Untuk mendeteksi keterlambatan khususnya gangguan , dapat digunakan 2 pendekatan :

Memberikan peranan kepada orang tua, nenek, guru atau pengasuh untuk melakukan deteksi dini dan melaporkan kepada dokter bila anak mengalami keterlambatan atau gangguan perkembangan dan perilaku. Kerugian cara ini adalah bahwa orang tua sering menganggap bahwa anak akan dapat menyusul keterlambatannya dikemudian hari dan cukup ditunggu saja. Misalnya bila anak mengalami keterlambatan bicara, nenek mengatakan bahwa ayah atau ibu juga terlambat bicara, atau anggapan bahwa anak yang cepat jalan akan lebih lambat bicara. Kadang-kadang disulitkan oleh reaksi menolak dari orang tua yang tidak mengakui bahwa anak mengalami keterlambatan bicara

Pendekatan lainnya adalah dengan deteksi aktif yang dapat dilakukan dokter atau dokter spesialis anak. Deteksi aktif ini dengan membandingkan kemampuan seorang anak dapat melakukan peningkatan perkembangan yang sesuai dengan baku untuk anak seusianya. Pendekatan kedua juga mempunyai kelemahan yaitu akan terlalu banyak anak yang diidentifikasi sebagai "abnormal" karena banyak gangguan perilaku penderita autis pada usia di bawah 2 tahun juga dialami oleh penderita yang normal. Sehingga beberapa klinisi bila kurang cermat dalam melakukan deteksi aktif ini dapat mengalami keterlambatan dalam penegakkan diagnosis.

Tampaknya peranan orangtua sangatlah penting dalam mendeteksi gejala autis sejak dini. Orangtua harus peka terhadap perkembangan anak sejak lahir. Kepekaan ini tentunya harus ditunjang dengan peningkatan pengetahuan tentang perkembangan normal pada anak sejak dini. Informasi tersebut saat ini sangat mudah didapatkan melalui media cetak seperti buku kesehatan populer, koran, tabloid, majalah dan media elektronik seperti televisi, internet dan sebagainya. Orang tua juga harus peka terhadap kecurigaan orang lain termasuk pengasuh, nenek, kakek karena mereka sedikitnya telah mempunyai pengalaman dalam perawatan anak.

Peranan orang tua untuk melaporkan kecurigaannya dan peran dokter untuk menanggapi keluhan tersebut sama pentingnya dalam penatalaksanaan anak. Bila dijumpai keterlambatan atau penyimpangan harus dilakukan pemeriksaan atau menentukan apakah hal tersebut merupakan variasi normal atau suatu kelainan yang serius. Jangan berpegang pada pendapat :"Nanti juga akan membaik sendiri" atau "Anak semata-mata hanya terlambat sedikit" tanpa pemeriksaan yang cermat. Akibat yang terjadi diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan yang semakin sulit. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji tapis atau skrening gangguan perilaku atau autis pada anak yang dicurigai yang dapat dilakukan oleh dokter.

Kemampuan penilaian skrening Autis ini hendaknya juga harus dipunyai oleh para dokter umum atau khususnya dokter spesialis anak. Dokter hendaknya harus cermat dalam melakukan penilaian skrening tersebut. Bila mendapatkan konsultasi dari orangtua pasien yang dicurigai Autis atau gangguan perilaku lainnya sebaiknya dokter tidak melakukan penilaian atau advis kepada orangtua sebelum melakukan skrening secara cermat. Banyak kasus dijumpai tanpa pemeriksaan dan penilaian skrening Autis yang cermat, dokter sudah berani memberikan advis bahwa masalah anak tersebut adalah normal dan nantinya akan membaik dengan sendirinya. Hambatan lainnya yang sering dialami adalah keterbatasan waktu konsultasi dokter, sehingga pengamatan skrening tersebut kadang sering tidak optimal. Orang tua sebaiknya tidak menerima begitu saja advis dari dokter bila belum dilakukan skrening Autis secara cermat. Bila perlu orangtua dapat melakukan pendapat kedua kepada dokter lainnya untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih jelas.

Sebaliknya sebelum cermat melakukan penilaian, dokter sebaiknya tidak terburu-buru memvonis diagnosis Autis terhadap anak. Overdiagnosis Autis kadang menguntungkan khususnya dalam intervensi dini, tetapi dilain pihak juga dapat merugikan khususnya dalam menghadapi beban psikologis orang tua. Orangtua tertentu yang tidak kuat menghadapi vonis autis tersebut kadangkala akan menjadikan overprotected atau overtreatment kepada anaknya. Selain itu keadaan seperti itu dapat meningkatkan beban biaya pengobatan anak. Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa orangtua penderita Autis sangat banyak mengeluarkan biaya konsultasi pada berbagai dokter, terapi okupasi, pemeriksaan laboratorium yang kadang mungkin belum perlu dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

1. American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)

2. Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism: A continuum-based behavioral models. JASH 1999; 24: 162-173.

3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed.
Washington, DC: American Psychiatric Association; 1994.

4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self.
New York, NY: Free

5. Buka SL,
Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and psychiatric diagnosis. A prospective study. Arch Gen Psychiatry 1993 Feb; 50(2): 151-6.

6. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.

7. Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors for autism. J Perinat Med 1999; 27(6): 441-50.

8. Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental Disorders. NY: Wiley; 1996.

9. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.

10. Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the basis of infant screening tests? Dev Med Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.

11. Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in children. Curr Opin Pediatr 1995 Aug; 7(4): 392-400.

12. Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior Modification. NY:
Irvington Press; 1977.

13. Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a review of research. Psychol Bull 1979 Nov; 86(6): 1236-54.

14. Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism, Autism Diagnostic Interview- Revised: interrater reliability of the German form of the interview. Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.

15. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13 (Suppl 2): 17.

16. Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for physical investigations. Brain Dev 1998 Jun; 20(4): 227-33.

17. Teitelbaum P, Teitelbaum O, Nye J, et al: Movement analysis in infancy may be useful for early diagnosis of autism. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 10; 95(23): 13982-7.

18. Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental disorders. Hosp Community Psychiatry 1991 Jan; 42(1): 33-5.

19. Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism Behavior Checklist. J Autism Dev Disord 1988 Mar; 18(1): 81-97.

20. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May 26; 318(21): 1390-2.

21. Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood autism: a review of screening instruments and rating scales. Child Care Health Dev 1994 May-Jun; 20(3): 165-77.

22. Vostanis P, Nicholls J, Harrington R: Maternal expressed emotion in conduct and emotional disorders of childhood. J Child Psychol Psychiatry 1994 Feb; 35(2): 365-76.

23. Werner E, Dawson G, Osterling J, Dinno N: Brief report: Recognition of autism spectrum disorder before one year of age: a retrospective study based on home videotapes. J Autism Dev Disord 2000 Apr; 30(2): 157-62.

24. Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as predictors of infantile autism. Int J Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98

25. Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic instruments for identifying high- functioning children with autism. J Autism Dev Disord 1994 Jun; 24(3): 281-91.